Sebagai warga negara Indonesia, saya merasa senang dan juga merasa bahagia, telah didirikan Satgas Pemberantasan Mafia Peradilan dan pada saat sekarang ini Satgas Pemberantasan Mafia Peradilan, Fokus melakukan pemberantasan terhadap sembilan “Big Fish”, yaitu : “Mafia korupsi, mafia pajak dan bea cukai, mafia pertambangan dan energi, mafia tanah, mafia hutan, mafia perbankan dan keuangan serta ellegal fishing” dengan adanya fokus pemberantasan terhadap sembilan besar tersebut, diharapkan dapat memberantas korupsi sesuai dengan harapan didirikannya Satgas pemberanasan mafia peradilan, sehingga nantinya anggaran pemerintah bisa lebih bertambah dan apabila anggaran pemerintah bisa lebih bertambah, maka masyarakat bisa lebih sejahtera.
Pemberantasan mafia sebagaimana disebutkan diatas, sangat diharapkan oleh masyarakat agar supaya anggaran yang dikorupsi bisa dikurangi dan sekaligus membasmi mafia pajak, illegal logging dan illegal fishing bisa menambah anggaran untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat baik langsung maupun tidak langsung.
Sebagai aktivis buruh, dari Persaudaraan Buruh Surabaya, (PBS) kami sangat mengharapkan juga, agar supaya satgas pemberantasan mafia peradilan juga memperhatikan dan memperdulikan nasib Kaum Buruh yang sering diberlakukan tidak adil oleh oknum pengusaha, seperti misalnya banyak Buruh atau pekerja di berbagai daerah di Indonesia yang tidak dipenuhi hak-hak normatifnya, yang diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Beberapa pelanggaran normatif yang dilakukan oknum pengusaha adalah sebabagi berikut :
- Pembayaran upah dibawah upah minimum yang berlaku, pembayaran upah dibawah upah minimum yang berlaku, adalah pelanggaran normatif yang dilakukan pengusaha dengan membayar upsh buruh/pekerja dibawah upah minimimum yang berlaku (pelanggaran normatif yang dilakukan pengusaha adalah pelanggaran normatif terhadap pasal 90 ayat (1) UURI No. : 13 tahun 2003 tentang “Ketenagakerjaan” yang berbunyi : “Pengusaha dilarang membayar Upah lebih rendah dari upah minimum, sebagaimana dimaksud dalam pasal 89”),
- Tidak memberikan hak cuti hamil terhadap Buruh / Pekerja wanita yang sedang hamil (pelanggaran normatif pengusaha terhadap pasal 82 ayat 1, UURI No. : 13 tahujn 2003 tentang “Ketenagakerjaan”, yang berbunyi : “Pekerja/Buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan, menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan”),
- Memberhentikan Buruh/Pekerja yang sakit menahun
- Tidak memberikan uang cuti, misalnya cuti hamil
- Mempekerjakan Buruh/pekerja yang mempunyai pekerjaan yang bersifat tetap, (misalnya Buruh/Pekerja di bagian produksi) dengan cara mengkontrak Buruh/Pekerja tersebut secara langsung dengan cara membuat Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dengan Buruh/Pekerja tersebut, atau mempekerjakan Buruh/Pekerja secara tidak langsung melalui PT. Penyedia Tenaga Kerja (outsourching) (pelanggaran normatif yang dilakukan pengusaha adalah pelanggaran normatif terhadap pasal 59 ayat 2, UURI No. : 13 tahun 2003 tentang “Ketenagakerjaan” yang berbunyi : “Perjanjian kerja waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap”) dan lain sebagainya pelanggaran normatif yang dilakukan oknum pengusaha terhadap Buruh / Pekerja yang bekerja di tempat usahanya
Pelanggaran normatif yang dilakukan oknum pengusaha, sebagaimana dimaksud kan diatas, terjadi dimana-mana di bumi Indonesia yang tercinta, dan sesungguhnya apabila instansi yang terkait dengan perselisihan hubungan industrial benar-benar serius menangani pelanggaran normatif yang dilakukan oknum pengusaha, maka tidak akan ada hal-hal sebagai berikut :
Pada kenyataannya, pelanggaran normatif sebagaimana yang disebutkan diatas, tetap terjadi, meskipun pelanggaran tersebut ada sanksi hukumnya yang diatur oleh UURI No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, baik sanksi hukuman kurung penjara atau sanksi denda, dengan batasan minimum, namun kenyataannya hampir diseluruh kota khususnya di Propinsi Jawa Timur, banyak terjadi pelanggaran normatif yang dilakukan oleh oknum-oknum pengusaha dan naifnya pelanggaran normatif yang dilakukan pengusaha, terkesan dibiarkan oleh pejabat-pejabat yang terkait dengan permasalahan Ketenagakerjaan, padahal semestinya pelanggaran normatif yang dilakukan pengusaha harus tetap ditindak lanjuti sekaligus diselesaikan sampai tuntas oleh Pejabat-pejabat yang terkait dengan Ketenagakerjaan.
MENGAPA PELANGGARAN NORMATIF TETAP ADA.
Mengapa pelanggaran normatif masih tetap ada ? masih tetap adanya pelanggaran normatif yang dilakukan pengusaha, disebabkan karena pengusaha yang melanggar pelanggaran normatif tidak pernah diberikan sanksi yang tegas oleh pihak pejabat terkait, meskipun sanksi berat bagi pengusaha yang melanggar ketentuan normatif, jelas-jelas ada dan diatur di dalam UURI NO. : 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, seperti misalnya pengusaha yang membayar upah Buruh/Pekerja, dibawah upah minimum, atau pengusaha yang tidak memberikan cuti hamil kepada Buruh/Pekerja wanita yang akan melahirkan, kepada pengusaha yang melanggar ketentuan normatif akan diberikan sanksi hukuman kurung penjara atau sanksi denda, sebagaimana diatur dalam pasal 185 ayat (1) dan ayat (2) UURI No. : 13 tahun 2003 tentang “Ketenagakerjaan” untuk pasal 185 ayat (1) berbunyi sebagai berikut : “Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 42 . . ayat (1) dan ayat (2), pasal 68, pasal 69 ayat (2) pasal 80, pasal 82, pasal 90 ayat (1), pasal 143 dan pasal 160 ayat (4) dan ayat (7), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 100.000.000,- (seratus juta Rupiah) dan paling banyak Rp. 400.000.000,- (empat ratus juta rupiah). Sedangkan pasal 185 ayat (2) berbunyi sebagai berikut : “Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan”.
Dengan adanya sanksi hukuman penjara dan hukuman denda dengan batasan “Minimum” telah menunjukkan bahwa sanksi hukuman yang tercantum dalam UURI No. : 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, merupakan sanksi yang cukup berat bagi pengusaha yang melanggar ketentuan normatif, namun pada kenyataannya, sampai sekarang masih belum ada satupun pengusaha yang mendapatkan dan menjalani sanksi kurung penjara atau sanksi denda sebagaimana diatur dalam UURI No. : 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, walaupun dimana-mana banyak sekali terjadi pelanggaran ketentuan normatif yang dilakukan pengusaha terhadap para Buruh/Pekerja yang bekerja di tempat usahanya
Banyaknya pelanggaran normatif yang dilakukan pengusaha, namun tidak ditindak dengan tegas oleh pejabat yang terkait, telah menimbulkan berbagai dampak buruk antara lain :
Ketidak tegasan pejabat yang terkait dengan Undang-Undang ketenagakerjaan dalam menjalankan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor : 13 tahun 2003 tentang “Ketenagakerjaan”, patut dipertanyakan
APAKAH ADA KONSPIRASI ANTARA PEJABAT TERKAIT DENGAN PENGUSAHA
Adanya sikap yang tidak tegas dalam menjalankan profesinya sebagai pejabat negara yang bertanggung jawab mengenai adanya pelanggaran ketentuan normatif yang dilakukan pengusaha, telah menimbulkan dugaan dikalangan Kaum Buruh/Pekerja (sudah menjadi rahasia umum), bahwasanya pemilik perusahaan tempat mereka bekerja adalah bos yang kuat karena mempunyai hubungan yang baik (apabila tidak bisa disebut sebagai backing) dengan oknum pegawai Disnaker, dengan oknum anggota Kepolisian, dengan oknum anggota tentara dan pejabat-pejabat lainnya dan hubungan yang baik tersebut diketahui oleh rata-rata Buruh/Pekerja yang bekerja di perusahaan milik pengusaha yang mempunyai hubungan baik dengan para oknum yang telah disebutkan diatas.
Hubungan yang dekat antara pengusaha dengan oknum yang disebutkan diatas, memang belum bisa dijadikan ukuran untuk menyebutkan, bahwa hubungan yang baik tersebut merupakan suatu konspirasi antara pejabat terkait dengan pengusaha untuk tidak memberikan sanksi yang tegas terhadap pengusaha yang telah melakukan pelanggaran ketentuan normatif. Namun meskipun dapat dikatakan adanya konspirasi besar dalam melawan Undang-Undang, namun apabila diamati dengan sungguh-sungguh (meskipun belum diadakan penelitian mengenai hubungan yang baik antara pengusaha dan oknum pejabat terkait dengan pelanggaran ketentuan normatif yang dilakukan pengusaha) mengenai hubungan baik yang terjalin antara pejabat terkait dengan pengusaha yang melakukan pelanggaran ketentuan normatif, maka terlihat bahwa “Hubungan yang baik antara pejabat terkait dengan pengusaha mempengaruhi terjadinya pelanggaran ketentuan normatif yang dilakukan pengusaha”, artinya “Semakin baik hubungan antara pejabat terkait dengan pengusaha, menyebabkan pengusaha semakin melanggar ketentuan normatif dan sebaliknya apabila pengusaha tidak menjalin hubungan yang baik dengan pejabat terkait, maka pengusaha tersebut tidak melanggar ketentuan normatif”
Sebagai bukti, bahwasanya hipotesa kami benar, adalah banyaknya pengusaha-pengusaha besar kelas Nasional yang mempunyai hubungan baik dengan para pejabat Negara, entah pejabat daerah atau pejabat pusat, ternyata banyak melanggar ketentuan normatif, khususnya, pasal 59 ayat (2) UURI No. : 13 tahun 2003 tentang “Ketenagakerjaan” yang berbunyi : “Perjanjian Kerja Waktu Tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap”, dimana banyak Buruh/Pekerja yang pekerjaannya bersifat tetap (sesuai dengan penjelasan atas Undang-Undang RI No. : 13 tahun 2003 tentang “Ketenagakerjaan”, khusus pasal 59 ayat (2) yang berbunyi : “yang dimaksud dengan pekerjaan yang bersifat tetap dalam ayat ini, adalah pekerjaan yang sifatnya terus menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu dan merupakan bagian dari suatu proses produksi dalam satu perusahaan atau pekerjaan yang bukan musiman”) masih tetap di kontrak kerja, bisa melalui perusahaan lain penyedia tenaga kerja atau outsourching atau bisa secara langsung membuat Perjanjian Kerja Waktu tertentu dengan Buruh/Pekerja, ironisnya yang melakukan kontrak kerja secara besar-besaran dan tidak sesuai dengan pasal 59 ayat (2) UURI No. : 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, adalah perusahaan-perusahaan besar yang berskala Nasional bahkan Internasional.
SIAPA YANG MENJADI KORBAN DENGAN ADANYA PELANGGARAN NORMATIF
Dengan maraknya pelanggaran normatif yang dilakukan oleh oknum pengusaha di mana-mana, maka yang menjadi korban terjadinya pelanggaran ketentuan normatif itu, jelas-jelas adalah kaum Buruh/Pekerja, dengan tidak adanya ketegasan dari pejabat instansi terkait terhadap pelanggaran ketentuan normatif yang dilakukan oleh oknum pengusaha, menyebabkan Kaum Buruh/Pekerja menjadi semakin terpojok dan semakin lemah, ketidak tegasan sikap dari pejabat instansi terkait untuk menjatuhkan sanksi kepada oknum pengusaha yang melakukan pelanggaran ketentuan normatif ini, jelas sangat merugikan posisi kaum buruh/pekerja yang tidak mendapatkan hak-haknya, sesuai dengan yang diatur dalam UURI No. : 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
BURUH/PEKERJA MERUPAKAN BAGIAN DARI MASYARAKAT YANG PALING LEMAH POSISINYA DAN MERUPAKAN SALAH SATU KELOMPOK YANG PALING BANYAK JUMLAHNYA.
Kaum Buruh/Pekerja, dalam hal status dan posisinya sebagai orang yang bekerja pada seseorang atau perusahaan dengan menerima upah, dengan posisi menerima upah dari seseorang yang memiliki tempat usaha tersebut, dengan posisi sebagai pihak yang bekerja dan menerima upah dari pengusaha dan upah tersebut digunakan atau dimanfaatkan oleh Buruh/Pekerja dan keluarganya untuk mencukupi kebutuhan hidup kaum Buruh/Pekerja dan keluarganya, maka posisi kaum buruh/Pekerja apabila dibandingkan dengan posisi pihak pengusaha, jelas terlihat bahwa posisi kaum Buruh/Pekerja tersebut dalam posisi yang lebih lemah bila dibandingkan dengan pengusaha, apalagi pada saat terjadi perselisihan hubungan industrial, antara Buruh/Pekerja berhadapan dengan pengusaha, dan pengusaha yang sudah dalam posisi lebih kuat ditambah lagi dengan dibantu oleh para profesional seperti Pengacara, maka posisi pengusaha akan semakin kuat dan posisi yang sudah kuat tersebut ditambah lagi dengan pejabat terkait yang mengambil keputusan yang tidak tegas, terhadap pelanggaran normatif, maka posisi kaum Buruh/Pekerja yang merupakan salah satu kelompok yang paling banyak jumlahnya ini, akan semakin lemah, karena pejabat yang terkait tersebut tidak mengambil keputusan sesuai dengan hukum yang berlaku.
Karena pejabat terkait yang bisa mengambil keputusan untuk menegakkan hukum sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, tidak mengambil keputusan untuk menegakkan Undang-Undang yang berlaku, secara langsung dan tidak langsung, semakin memperlemah posisi kaum Buruh/Pekerja dalam menghadapi pengusaha yang melanggar ketentuan normatif yang berlaku, sehingga mengakibatkan Hukum di Indonesia khususnya mengenai Ketenagakerjaan, akan semakin tidak pernah ditaati oleh para pengusaha, akibatnya UURI No. : 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, hanya menjadi pajangan saja, karena ketentuan yang ada termasuk sanksi-sanksi yang diatur dalam UU tersebut tidak dijalankan, akibat yang paling fatal adalah menyebabkan Kaum Buruh/Pekerja yang jumlahnya cukup besar menjadi kelompok yang paling lemah.
SATGAS PEMBERANTASAN MAFIA, HARUS BERTANYA ATAU INVESTIGASI KEPADA PEJABAT TERKAIT BERKENAAN DENGAN MASIH BANYAKNYA PELANGGARAN NORMATIF
Apabila Undang – Undang Republik Indonesia, nomor : 13 tahun 2003 tentang “Ketenagakerjaan”, hanya dijadikan simbol formalitas atas keberadaan Undang-Undang tersebut dan keberadaan Undang-Undang tersebut tidak dijalankan, sesuai dengan prosedur yang ada, maka lama-kelamaan Undang-Undang tersebut sama dengan tidak berlaku, dan apabila Undang-Undang yang semestinya masih berlaku, namun dianggap tidak berlaku oleh sebagian masyarakat yang mempunyai uang dan mempunyai kekuasaan, maka PROSES KEHIDUPAN SEPERTI ITU DISEBUT SEBAGAI PROSES MENUJU MASYARAKAT HUKUM RIMBA, yaitu dimana yang kuat yang mempunyai berbagai sarana dan prasarana lah yang menang dan yang berkuasa untuk menentukan segalanya, sehingga yang lemah harus menerima keputusan apapun dari yang kuat dan yang berkuasa, meskipun keputusan tersebut adalah keputusan yang tidak adil dan keputusan yang semena-mena serta bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Proses kehidupan menuju masyarakat hukum rimba, sebagai yang dimaksudkan diatas, sangat bertentangan dengan prinsip Demokrasi dari Pemerintah sekarang, untuk itulah sangat pantas dan sangat pas, apabila Satgas Pemberantasan Mafia yang telah dibentuk Presiden, melakukan investigasi terhadap pejabat-pejabat terkait yang menyangkut pelaksanaan Undang-Undang RI. Nomor : 13 tahun 2003 tentang “Ketenagakerjaan”, mulai dari pusat sampai ketingkat daerah, karena pelanggaran-pelanggaran normatif yang marak dimana-mana, telah menggores dan sangat melukai rasa keadilan yang harus kita junjung bersama, lebih-lebih lagi dengan didirikannya Satgas Pemberantasan Mafia, jelas mempunyai tujuan mulia yaitu “Menegakkan keadilan di Indonesia serta memberantas penyebab Ketidak adilan di Indonesia” tanpa pandang bulu, termasuk membela kaum Buruh/Pekerja yang pada saat sekarang sedang terpinggirkan atau termarjinalkan keberadaannya.
Demikian masukan-masukan tentang SATGAS PEMBERANTASAN MAFIA ini kami sampaikan, dengan tujuan agar supaya bisa menjadi salah satu agenda bagi Satgas Pemberantasan Mafia dalam memberantas penyebab terjadinya pelanggaran normatif, dan harapan kami yang begitu besarnya kepada Satgas Pemberantasan Mafia, adalah “Semoga sukses langkah-langkah yang dilakukan Satgas Pemberantasan Mafia”, sehingga langkah-langkah yang dijalankan dan dilaksanakan oleh Satgas Pemberantasan Mafia bisa menjadi salah satu penyebab, yang membawa Bangsa Indonesia menjadi Bangsa Besar dan Rakyatnya bisa merasakan dan mendapatkan kehidupan yang adil dan makmur sebagaimana dicita-citakan oleh Para Pendiri Bangsa . . AMIEN !!!
Surabaya, 20 April 2010
Ketua Persaudaraan Buruh Surabaya (PBS)
Drs. Slamet Julianto