Tulisan ini terdiri dari 3 (tiga) bagian, yaitu :
1. Bagian pertama Pendahuluan
2. Bagian kedua Pergolakan tiga kelompok
3. Bagian ketiga puncak pergolakan
Pada hari Sabtu tanggal 27 Pebruari 2010, saya menulis bagian pertama dan bagian kedua saya tulis pada Selasa tanggal 2 Maret 2010 dan bagian ketiga atau bagian terakhir akan saya tulis pada hari Sabtu tanggal 6 Maret 2010
Pendahuluan :
Sejak Indonesia merdeka sampai sekarang terus terjadi pergolakan politik yang tak pernah berhenti, pergolakan politik yang tak pernah selesai, terjadi mulai jaman Pemerintahan Sukarno, Suharto, Habibie, Gus Dur, Megawati dan sampai saat ini di jaman pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.
Di jaman Pemerintahan Sukarno, Pembangunan Karakter manusia Indonesia yang mempunyai jiwa Nasionalisme yang tinggi, lebih diutamakan dengan tujuan agar supaya, rakyat Indonesia mecintai Bangsanya, dengan modal Nasionalisme yang tinggi diharapkan nantinya bisa membangun Bangsa menjadi bangsa yang besar dan bisa sejajar dengan Negara-negara maju.
Apa yang dilakukan Sukarno dalam membangun Bangsa dengan mendahulukan pembangunan Jiwa dari rakyatnya sangat direspon dan diterima oleh sebagian besar rakyat Indonesia, namun selain sebagian besar rakyat yang menerima kebijakan Sukarno, ternyata ada sebagian kelompok yang tidak bisa menerima kebijakan politik Sukarno, namun karena kondisi dan kekuatan rakyat mendukung Sukarno, mereka tidak berani berkutik, dan mereka yang kurang sepakat dan tidak bisa menerima kebijakan Sukarno, menunggu situasi dan kondisi yang tepat untuk menjatuhkan Sukarno, puncaknya terjadi peristiwa G 30 S PKI, dalam kondisi seperti itulah, dimanfaatkan oleh Suharto untuk mengambil alih kekuasaan dengan alasan telah mendapatkan mandat Super Semar dari Sukarno yang menjadi Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan di Indonesia pada waktu itu.
Setelah Suharto mengambil alih kekuasaan berdasarkan Surat Mandat Super Semar dari Sukarno, maka berkuasalah Suharto selama kurang lebih 32 (tiga puluh dua) tahun, selama berkuasa 32 tahun kekuasaan Suharto sudah mengakar sampai bawah, semua yang menurut dan mengikuti kebijakannya mendapatkan hak-hak yang lebih dari yang lain, sehingga pengikut-pengikut Suharto dalam kurun waktu selama 32 tahun bisa membangun hegemoni ekonomi dan hegemoni kekuasaan yang sangat besar (bahkan sampai sekarang masih sangat dirasakan dimana-mana) di hampir semua aspek kehidupan dan di hampir semua kelompok baik kelompok formal maupun kelompok informal tak luput dari pengaruh Suharto.
Begitu kuatnya pengaruh Suharto pada waktu itu telah menyebabkan kelompok – kelompok lainnya yang tidak seide, harus rela disingkirkan oleh orang-orang Suharto pada waktu itu misalnya, kelompok Petisi 50 yang dimotori oleh Ali Sadikin Almarhum, merupakan contoh kelompok yang disingkirkan atau di marjinalkan karena dianggap berseberangan dengan pandangan Suharto, sehingga kelompok Petisi 50, terkesan diasingkan oleh masyarakat (meskipun hakekatnya masih banyak kelompok masyarakat yang menaruh hormat kepada kelompok petisi 50, namun tidak berani terang-terangan).
Setelah adanya kelompok petisi 50 untuk tampil beda pada waktu pemerintahan Suharto, bertahun-tahun kemudian bahkan belasan tahun kemudian muncul kelompok-kelompok lain, yaitu kelompok-kelompok akedimsi, kelompok budayawan dan kelompok profesional maupun kelompok mahasiswa, diantaranya seperti “Sri Bintang Pamungkas”, “Gus Dur” atau “Emha Ainun Najib” dan juga “Rahmawati Sukarnoputri” serta Buyung Nasution dan lain-lainnya muncul sebagai figur perorangan, namun yang paling keras dan radikal adalah “Sri Bintang Pamungkas” dan “Rahmawati Sukarno Putri”.
Figur-figur perorangan tersebut yang tampil beda tersebut mempunyai kendaraan tapi bukan partai, namun sarana tertentu yang bisa budaya-religius seperti milik Emha Ainun Najib, yaitu “Pengajian Padang Mbulan” yang tersohor pada waktu itu, sarana Sosio-politik-budaya seperti yang dipelopori Gus Dur dan sahabat-sahabatnya dengan “Fordem” nya, sarana Pendidikan yang dikembangkan Rahmawati Sukarnoputri melalui “Yayasan Bung karno” dengan membangun Universitas Bung Karno dan lain sebagainya.
Dengan sudah munculnya tokoh – tokoh yang berani tampil beda pada waktu itu, telah mendorong kalangan lebih muda, khususnya dikalangan Mahasiswa telah lebih berani menyoroti kebijakan – kebijakan Suharto yang pada waktu itu kurang memihak ke rakyat kecil, semakin banyaknya dukungan terhadap mereka yang tampil beda, telah mengakibatkan rezim Suharto fan kelompoknya melakukan tekanan-tekanan terhadap mereka yang berani tampil beda dan tidak patuh kepada kebijakan Suharto pada waktu itu, seperti adanya pergantian pimpinan di Partai Demokrasi Indonesia pada saat Kongres Luar Biasa di Asrama Haji Sukolilo pada tahun 1992, dimana secara De Facto Megawati Sukarno Putri telah terpilih sebagai Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia dalam Kongres Luar Biasa tersebut, namun kemungkinan karena kurang dikehendaki oleh Suharto . . dan tidak tahu caranya, tahu-tahu Suryadilah yang menjadi Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia pada waktu itu dan Suryadi lah yang diakui oleh Pemerintahan Suharto.
Pengakuan Pemerintah yang tidak adil itulah pada waktu itu memicu munculnya perlawanan-perlawanan baru dari kelompok mahasiswa idealis radikal dan kelompok-kelompok mahasiswa idealis radikal tersebut membentuk organisasi yang bernama “SMID” Solidaritas Mahasiswa untuk Demokrasi yang selanjutnya mengkristal menjadi organisasi Politik bernama “Partai Rakyat Demokrasi” (PRD) dengan melahirkan tokoh-tokohnya seperti “Yenny Damayanti”, “Herman” Budiman Sujatmiko, Dita, Tukul dan lain sebagainya.
Anak-anak muda idealis radikal tersebut sangat diawasi dengan ketat oleh rezim pada waktu itu, dengan munculnya anak-anak muda tersebut ditambah dengan tokoh kritis yang vokal yang mengingatkan Pemerintah, agar supaya tidak ikut campur tangan dalam mengurusi masalah internal Partai Demokrasi Indonesia pada waktu itu.
Apa yang disampaikan oleh anak-anak muda idealis radikal dan tokoh-tokoh nasional yang kritis pada waktu itu, ternyata tidak digubris oleh Rezim pada waktu itu, sehingga membuat mereka semakin mendukung gerakan perlawanan yang dilakukan oleh Kader-kader, Simpatisan Partai demokrasi Indonesia terhadap Pemerintah yang tidak mengakui Megawati Sukarno Putri sebagai Ketua Umumnya.
Gerakan perlawanan tersebut lama-kelamaan menggumpal menjadi kekuatan yang semakin lama semakin membesar di Kota besar seperti di Jalan di Jakarta bermarkas di Jalan Diponegoro dan gerakan perlawanan di Surabaya bermarkas di Jalan Pandegiling.
Khusus di Jalan Diponegoro setiap hari mulai dari anak-anak muda yang idealis sampai tokoh Nasional yang vokal, melakukan orasi mengkritisi pemerintahan rezim Suharto, yang sudah tidak hanya mengkritik masalah pemerintah ikut campur masalah internal Partai demokrasi Indonesia, tapi sudah berkembang mengkritik kebijakan Pemerintah yang dianggap lebih berpihak kepada pengusaha-pengusaha raksasa yaitu para konglomerat dengan memberikan fasilitas yang luar biasa untuk mereka seperti memonopoli Hak Penguasaan Hutan (HPH) dan kebijakan tersebut tidak berpihak kepada mayoritas rakyat Indonesia yang masih hidup dalam kemiskinan.
Dengan tampilnya anak-anak muda idealis radikal serta tokoh nasional yang kritis di Jalan Diponegoro maupun di Pandegiling, telah menjadi magnit bagi masyarakat untuk setiap hari datang ke mimbar bebas di Jalan Diponegoro (Jakarta) maupun di Jalan Pandegiling (Surabaya), dengan semakin banyaknya masyarakat yang hadir, maka lama-kelamaan daerah tersebut tidak hanya dikenal oleh daerah sekitar itu saja namun juga dikenal di seluruh kota Jakarta maupun di Surabaya, bahkan sudah dikenal oleh hampir seluruh pelosok Pulau Jawa.
Tampilnya banyak tokoh dari multi golongan yang bersimpatik pada waktu itu telah membuat rezim pada waktu itu agak miris dengan kekuatan perlawanan tersebut, karena kekuatan Nasionalis pada waktu itu juga didukung oleh kelompok Agama seperti Gus Dur (KH. Adurrachman Wahid almarhum), bahkan konon Gus Dur akan hadir memberikan orasi pada hari Minggu tanggal 27 Juli 1996, namun sebelum Gus Dur melakukan orasi pada hari Minggu tanggal 28 Juli 1996, satu hari sebelumnya pada hari Sabtu tanggal 27 Juli 1996, Jalan Diponegoro sebagai pusat perlawanan di bumi hanguskan oleh sekelompok orang dan peristiwa itu lebih dikenal dengan sebutan Peristiwa Kuda Tuli.
Setelah terjadinya peristiwa Kuda Tuli, perlawanan masyarakat khususnya mahasiswa terhadap rezim yang ada semakin menjadi-jadi, baik di Jakarta maupun di Surabaya telah terjadi demonstrasi besar-besaran bahkan dsudah menyebar di kota – kota lainnya, Solo, Semarang, Bandung dan lain sebagainya dan akhirnya meletus peristiwa Tri Sakti, yaitu peristiwa gugurnya beberapa mahasiswa tertembak oleh penembak gelap.
Gugurnya beberapa mahasiswa yang ikut demonstrasi yang menentang rezim pada waktu itu ibarat api disiram bensin telah memicu perlawanan rakyat, tidak hanya mahasiswa dan tokoh-tokoh nasional yang kritis dan vokal, tetapi juga memicu masyarakat yang dahulu skeptis dan apatis melihat keadaan yang ada menjadi terpanggil untuk menentang Rezim yang dianggap tidak mempunyai kepedulian ke rakyat kecil dan puncaknya terjadilah pelengseran Suharto pada tahun 1998, setelah mahasiswa yang benar-benar Idealis dan mencintai Negara mengepung gedung DPR dan Harmoko sebagai Ketua DPR melengserkan Suharto sebagai Presiden RI. Dan digantikan oleh Habibie yang sebelumnya Wakil Presiden menjadi Presiden RI.
Bahwa proses perlawanan masyarakat terhadap rezim Suharto pada waktu itu terbagi menjadi tiga kelompok, kelompok pertama yaitu Idealis radikal dan kelompok yang kedua adalah kelompok yang Idealis Moderat dan yang terakhir adalah Kelompok oportunis,
1. Kelompok Idealis Radikal yaitu kelompok yang menginginkan adanya suatu perubahan total tatanan pemerintahan dengan segala perangkat-perangkatnya yang harus diganti dan diisi oleh orang-orang baru, sebab kelompok Idealis radikal ini sama sekali tidak percaya kepada sistem demokrasi di Indonesia selama ini yang dianggap sudah menyeleweng dari kebenaran termasuk juga sama sekali tidak percaya terhadap para birokrat, baik birokrat yang tingkat bawah sampai birokrat tingkat atas, sebab kelompok Idealis Radikal ini menganggap bahwa kalangan birokrat yang ada selama ini lah yang memperkuat rezim Suharto, sehingga menurut kelompok Idealis radikal ini bahwa Birokrasi harus dibersihkan dari orang-orang lama dan diganti oleh orang baru sama sekali, maka kelompok Idealis radikal ini sangat menghendaki adanya Revolusi sosial, sebab menurut faham kelompok idealis radikal tanpa adanya revolusi, perubahan tidak akan berjalan seperti yang dikehendaki, golongan Kelompok Idealis Radikal ini sebagian besar terdiri dari mahasiswa, ditambah dengan kelompok intelektual muda, kelompok Idealis Radikal ini sampai saat ini belum ada yang masuk ke lembaga Pemerintahan (pusat maupun daerah), baik di lembaga Eksekutif, Legislatif maupun Yudikatif
2. Kelompok Idealis Moderat., yaitu kelompok yang menginginkan adanya perubahan tatanan Pemerintahan, namun tidak harus seluruh perangkat-perangkatnya dirubah total dan tidak harus seluruh perangkat birokrasi diisi semua oleh orang-orang baru, pandangan dan sikap kelompok Idealis Moderat ini, adalah melakukan pembenahan yang sungguh-sungguh lahir dan batin kearah perbaikan menuju pemerintahan yang bersih dan berwibawa tapi tidak harus melakukan Revolusi tapi cukup dengan melakukan Reformasi atau perbaikan – perbaikan yang berhubungan dengan adanya reformasi birokrasi, seperti misalnya perubahan sistem pemerintahan yang dahulu, pusat Pemerintahan termasuk di daerah seluruh wilayah Negara Kesatuan republik Indonesia hanya dalam satu Komando yaitu Presiden saja atau terpusat (Sentralisasi) sebagai pusat pemerintahan, namun sekarang Presiden dan Pemerintah Pusat bukan lagi merupakan satu-satunya pengendali Pemerintahan di Daerah, namun daerah melalui Kepala Daerah juga bisa mempunyai kewenangan atau otonomi untuk mengatur daerah nya sendiri.
Selain itu agar supaya para Birokrat tidak bisa mengambil Keputusan yang menyimpang seperti jaman rezim terdahulu, maka kelompok idealis moderat ini membuat Undang-Undang yang mengatur bahwa jabatan Birokrat di daerah paling tinggi adalah Sekretaris Kota apabila di tingkat Kota atau Sekretaris Kabupaten apabila di Tingkat Kabupaten, dan apabila di tingkat daerah Propinsi paling tinggi jabatannya adalah Sekretaris Daerah, dengan membatasi Birokrat dari reaim yang terdahulu, maka diharapkan para birokrat tersebut yang paling tinggi kedudukannya sekalipun, tetap saja tidak bisa mengambil keputusan, sebab Pengambil Keputusan tertinggi adalah Kepala Daerah, sedangkan Kepala Daerah tidak diambilkan dari para Birokrat tersebut tapi diambilkan dari luar kalangan birokrat, yaitu melalui Partai dengan harapan agar Kepala daerah terpilih yang berasal dari kelompok diluar birokrat diharapkan bisa menghilangkan pola dan kebiasaan-kebiasaan buruk yang dilakukan oleh Birokrat di jaman rezim terdahulu.
Kelompok Idealis Moderat ini percaya, bahwa apabila terjadi Revolusi, maka akan banyak memakan korban mereka – mereka yang tidak berdosa, sehingga kelompok Idealis Moderat ini berusaha semaksimal mungkin jangan sampai terjadi revolusi yang bisa memakan korban rakyatnya sendiri yang tidak bersalah dan kelompok Idealis moderat ini percaya, bahwa Reformasi adalah jalan terbaik untuk melakukan perubahan yang lebih baik untuk Bangsa dan Negara Indonesia. Kelompok Idealis Moderat ini sebagian besar adalah kaum intelektual di kampus, sebagian di kelompok profesional dan sebagian ada di lembaga swadaya masyarakat
3. Kelompok Oportunis., yaitu kelompok yang selalu mencari keuntungan untuk dirinya sendiri dalam kondisi apapun, kelompok oportunis ini sangat tidak menginginkan adanya perubahan birokrasi atau reformasi birokrasi, namun kelompok oportunis ini sangat lantang menyampaikan perubahan menjelang jatuhnya Rezim Suharto, sebab mereka tahu bahwa Rezim Suharto sudah akan jatuh, maka mereka menyampaikan perubahan sebab mereka takut terkena imbas akibat kejatuhan rezim Suharto karena kelompok oportunis ini sadar bahwa sebenarnya mereka adalah bagian rezim Suharto dan mereka sadar bahwa merekalah yang memperkuat sendi-sendi kekuasaan rezim Suharto dan merekalah yang sebenar-benarnya yang menjerumuskan Rezim Suharto untuk tidak ingat kepada sebagian besar Rakyar Indonesia yang hidupnya dibawah garis kemiskinan, namun agar supaya tidak ketahuan maka kelompok oportunis ini yang bersuara lantang menyampaikan reformasi, bahkan kalau perlu revolusi sambil menoleh kiri kanan melihat apa yang menguntungkan bagi mereka.
Kelompok oportunis ini karena begitu lamanya larut dalam rezim terdahulu, maka kelompok oportunis ini sangat tahu persis proses seluk beluk birokrasi termasuk sangat mengetahui dan paham dengan segala sikap dan perilaku para birokrat, baik lembaga Eksekutif, lembaga Legislatif dan juga di lembaga Yudikatif, karena Kelompok oportunis juga ada yang berasal dari luar birokrasi dan ada juga yang berasal dari birokrasi sehingga tahu persis apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak harus dilakukan oleh kelompok oportunis ini, sehingga dengan demikian kelompok oportunis ini dalam mencapai cita-citanya selalu menggunakan segala cara, baik dengan cara yang santun atau dengan cara memaksa untuk mencapai tujuan dan disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada, meskipun harus membuang jauh-jauh rasa malu dan harga diri yang dipunyai. Kelompok oportunis ini pada saat sekarang menyebar dan menyusup dimana-mana diseluruh kelompok formal maupun informal, di lembaga negara atau di lembaga swasta, termasuk sudah memasuki dunia Pendidikan dan dunia religius, namun sulit dibuktikan tapi sangat mudah untuk dirasakan.
Surabaya, 27 Pebruari 2010
Hormat Saya
Slamet Julianto (cak Bagong)